Laporan: Shalahuddin Ismail
(Reportase Syiar FM) Jalan Penghibur menuju Benteng Bersejarah Fort Rotterdam
Photo Source : aroelaidah.wordpress.com
Menyusuri sepanjang Jalan Penghibur Kota Makassar, berbagai kemegahan arsitektur modern mulai dari hotel berbintang hingga rumah makan akan memanjakan mata di sisi kanan jalan yang dilalui. Sekira kurang lebih 500 meter pada sisi kiri jalur itu pemandangan pantai tidak kalah ramainya. Dikala sore menjelang matahari terbenam, banyak pengunjung yang datang ketempat tersebut hanya sekedar melihat proses terbenamnya matahari menyambut malam. Selain itu melewati jalur tersebut, sebelum sampai ke ujung Jalan Penghibur jajanan seperti es kelapa muda banyak ditemui dengan berbagai macam pilihan rasa, mulai dari rasa gula merah, strawberry, dan jeruk. Di depan penjual jajanan itu nampak bangunan tua peninggalan pemerintah Belanda dimasa lampau, dengan sebuah patung kuda didepannya yang ditunggangi oleh seorang Raja Gowa Sultan Hasanuddin Bangunan itu kini lebih dikenal dengan nama Benteng Fort Rotterdam, yang dalam catatan sejarah, nama Fort Rotterdam digunakan setelah Benteng tersebut berhasil dirampas oleh pihak belanda dari tangan Raja Gowa, terletak di pinggir pantai sebelah barat Kota Makassar, Sulawesi Selatan Benteng Jumpandang Peninggalan Raja Gowa
Photo Source :
rizkypgaus.blogspot.com Benteng ini merupakan peninggalan sejarah Kesultanan Gowa, yang berjaya sekitar abad ke-17 dengan ibu kota Makassar Nama asli benteng ini adalah Benteng Jumpandang (Ujung Pandang), orang Gowa-Makassar menyebut benteng ini dengan sebutan Benteng Panyyua yang merupakan markas pasukan katak Kerajaan Gowa Ada 17 buah benteng lainnya mengitari seluruh ibu kota, hanya saja, Benteng ini merupakan benteng paling megah dan keasliannya masih terpelihara hingga kini. Dibangun tahun 1545 oleh Raja Gowa ke-X yang bernama Imanrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung atau Karaeng Tunipalangga Ulaweng. Awalnya benteng ini berbahan dasar tanah liat, namun pada masa pemerintahan Raja Gowa ke-14 Sultan Alauddin konstruksi benteng ini diganti menjadi batu padas yang bersumber dari Pegunungan Karst yang ada di daerah Maros Menurut catatan sejarah yang ada, pada tanggal 9 Agustus 1634, Sultan Gowa ke-XIV (I Mangerangi Daeng Manrabbia, dengan gelar Sultan Alauddin, membuat dinding tembok dengan batu padas hitam yang didatangkan dari daerah Maros) Kemudian pada tanggal 23 Juni 1635, dibangun lagi dinding tembok kedua dekat pintu gerbang benteng Fort Rotterdam (Sultan Alauddin namanya kini diabadikan menjadi nama salah satu universitas islam negeri di Makassar) Serangan Belanda hancurkan Benteng ini
Photo Source : id.wikipedia.org
Benteng ini pernah hancur pada masa penjajahan Belanda. Pada serangan terhadap Kesultanan Gowa antara tahun 1655 hingga tahun 1669, yang saat itu dipimpin Sultan Hasanuddin, Tujuan penyerangan ini adalah sebagai upaya untuk menguasai jalur perdagangan rempah-rempah dan memperluas sayap kekuasaan Belanda, serta untuk memudahkan mereka membuka jalur ke Banda dan Maluku. Armada perang Belanda pada saat itu dipimpin oleh Gubernur Jendral Admiral Cornelis Janszoon Speelman. Selama satu tahun penuh Kesultanan Gowa diserang, yang mengakibatkan sebagian benteng hancur. Serangan tersebut mengakibatkan kekalahan pada pihak kesultanan Gowa dan Sultan Gowa dipaksa untuk menandatangani Perjanjian Bongaya pada tanggal 18 November 1667 Fort Rotterdam tempat kelahiran Gubernur Jendral Belanda
Photo Source : id.wikipedia.org
Gubernur Jendral Speelman kemudian membangun kembali benteng yang sebagian hancur dengan model arsitektur Belanda. Bentuk benteng yang tadinya berbentuk segi empat dengan empat bastion, ditambahkan satu bastion lagi di sisi barat. Nama benteng kemudian dinamakan Fort Rotterdam, yang merupakan nama tempat kelahiran Speelman Sejak saat itu Benteng Fort Rotterdam berfungsi sebagai pusat perdagangan dan penimbunan hasil bumi dan rempah rempah sekaligus pusat pemerintahan Belanda di wilayah Timur Nusantara (Indonesia) Kini Sebagai Museum Koleksi Balai PurbakalaSalah satu koleksi
Musium Benteng Fort Rotterdam Saat ini kompleks Benteng Fort Rotterdam difungsikan pula sebagai museum penyimpanan koleksi Balai Purbakala, disebut Museum La Galigo yang di dalamnya terdapat banyak referensi mengenai sejarah kebesaran Makassar (Gowa-Tallo) dan daerah-daerah lainnya yang ada di Sulawesi Selatan Sehingga tidak heran jika beberapa koleksi yang ada di dalamnya merupakan koleksi yang berasal dari daerah lain seperti Rencong yang berasal dari Aceh. Selain alat-alat perang ada juga yang berbentuk tulisan sejarah seperti lontara. Salah satu obyek wisata yang terkenal disini adalah ruang tahanan sempit Pangeran Diponegoro saat dibuang oleh Belanda sejak tertangkap ditanah Jawa Perang Diponegoro yg berkobar diantara tahun 1825-1830 berakhir dengan dijebaknya Pangeran Diponegoro oleh Belanda saat mengikuti perundingan damai, untuk kemudian dibuang ke Menado, dan pada tahun 1834 dipindahkan ke Fort Rotterdam Diponegoro adalah putra sulung Hamengkubuwono III, seorang raja Mataram di Yogyakarta. Lahir pada tanggal 11 November 1785 di Yogyakarta dari R.A. Mangkarawati, seorang garwa ampeyan (istri non permaisuri) yang berasal dari Pacitan. Pangeran Diponegoro bernama kecil Raden Mas Ontowiryo Menyadari kedudukannya sebagai putra seorang selir, Diponegoro menolak keinginan ayahnya, Sultan Hamengkubuwana III, untuk mengangkatnya menjadi raja, Diponegoro lebih tertarik pada kehidupan keagamaan dan hidup merakyat Ruang Penjara Berdinding Melengkung
Pada foto disebelah kiri, terlihat papan penunjuk arah ruang tahanan Pangeran dipenogoro di dalam kompleks benteng Fort Rotterdam Ruang penjara tersebut berdinding melengkung dan amat kokoh. Diruang itu disediakan sebuah kamar kosong beserta pelengkap hidup lainnya seperti peralatan shalat, alquran, dan tempat tidur Banyak kemudian yang meyakini bahwa Pangeran Diponegoro wafat di Makassar, lalu ia dikuburkan disitu juga. Tapi ada pendapat lain mengatakan, mayat Diponegoro tidak ada di Makassar. Begitu ia wafat Belanda memindahkannya ketempat rahasia agar tidak memicu letupan diantara pengikut fanatiknya di Jawa atau di Makassar Menurut catatan yang ada, Perang Diponegoro berawal ketika pihak Belanda memasang patok di tanah milik Diponegoro di desa Tegalrejo. Saat itu, beliau memang sudah muak dengan kelakuan Belanda yang tidak menghargai adat istiadat setempat dan sangat mengeksploitasi rakyat dengan pembebanan pajak. Sikap Diponegoro yang menentang Belanda secara terbuka, mendapat simpati dan dukungan rakyat. Atas saran Pangeran Mangkubumi, pamannya, Diponegoro menyingkir dari Tegalrejo, dan membuat markas di sebuah goa yang bernama Goa Selarong Saat itu, Diponegoro menyatakan bahwa perlawanannya terhadap Belanda adalah perang sabil, perlawanan menghadapi kaum kafir. Semangat "perang sabil" yang dikobarkan Diponegoro membawa pengaruh luas hingga ke wilayah Kedu dan Pacitan (Jawa Timur). Salah seorang tokoh agama di Surakarta, Kyai Maja, ikut bergabung dengan pasukan Diponegoro di Goa Selarong. Selama perang ini kerugian pihak Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara dan 20 juta Gulden Berbagai cara terus diupayakan Belanda untuk menangkap Diponegoro. Bahkan sayembara pun dipergunakan. Hadiah 50.000 Gulden diberikan kepada siapa saja yang bisa menangkap Diponegoro. Sampai akhirnya Diponegoro ditangkap pada 1830 (Sebagai perbandingan, data pada tahun 1930 (100 tahun setelah ditangkapnya Pangeran Dipenogoro tahun 1830), rata-rata pendapatan pribumi adalah 535 Gulden/tahun, sedangkan bangsa Eropa 8.000 Gulden/tahun, maka dapat dibayangkan berapa nilai hadiah sebesar 50.000 gulden sebelum tahun 1830 pada masa Perang Dipenogoro, data bersumber dari De Javasche Bank dan Pertumbuhan Ekonomi Hindia Belanda tahun 1900 - 1942) Berapa Jumlah Kunjungan ke Fort Rotterdam?
Salah seorang wisatawan asal Malaysia, Mohammad Alif Yunus saat ditemui disela-sela kunjungannya ke Benteng Fort Rotterdam mengaku dengan kunjungannya itu dia bisa mengetahui bahwa ada hubungan antara orang Malaysia dan Suku Bugis yang banyak mendiami negeri jiran tempat ia dilahirkan. Alumnus Universitas Sains Malaysia itu datang ke benteng ini bersama dengan keluarganya. Mereka mengakui dengan keberadaan situs peninggalan sejarah seperti Fort Rotterdam mereka bisa lebih memahami kondisi hubungan antara Indonesia dengan Malaysia dimasa lalu yang belakangan ramai diberitakan media sedang dirundung perseteruan akibat klaim wilayah perbatasan oleh pihak Malaysia Lain Jaman, Lain Alat Perang
Photo Source : www.sodahead.com
Seandainya waktu bisa kita putar kembali kesekitar abad ke 17, tentunya Gowa dan daerah lainnya di Indonesia akan berikhtiar untuk mempelajari teknologi mesiu (yang ditemukan oleh bangsa Cina), serta peralatan senjata api lainnya yang ternyata menjadi sumber kekuatan pertahanan negara pada jaman itu Pada jaman kejayaan Yunani, Archimedes (287-212 SM) sebagai ahli matematika, fisika, ahli teknik, penemu dan juga seorang astronomi yang dimiliki bangsa Yunani saat itu berhasil menciptakan berbagai senjata pertahanan dan menggagalkan serangan-serangan armada angkatan laut Romawi dengan menggunakan berbagai senjata Diantaranya adalah katapel besar yang membocorkan dan menenggelamkan kapal-kapal musuh tanpa mampu mencapai ke pantai, dan senjata pertahanan berbentuk susunan plat logam yang dibentuk menjadi seperti cermin cekung yang digunakan untuk memfokuskan cahaya matahari dan membakar kapal-kapal musuh dari jarak jauh Kini jaman telah berubah, kekuatan pertahanan negara bukan lagi pada senjata fisik semata, dan perang tidak lagi hanya menggunakan bahan peledak, tapi lebih mengandalkan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama teknologi informasi yang terutama memanfaatkan kekuatan jejaring sosial Sejarah yang baru saja tertulis adalah fakta jatuhnya diktator Mesir yang sudah 42 tahun berkuasa (Housni Moubaraq) dimana massa rakyat yang marah berinteraksi dan berkordinasi menggunakan social network yang bernama facebook Penggalangan kekuatan melalui jejaring sosial tersebut akhirnya berhasil mendesak mundurnya sang diktator dari kekuasaannya sampai akhirnya lari terbirit-birit ke luar negeri, sehingga muncul anekdot saat itu, “Housni Moubaraq sekarang menjadi Housni mouberaq” Tentang Penulis
Shalahuddin Ismail, adalah mahasiswa Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin, Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam dan Desk Editor pada Radio Syiar 107,1 FM, Makassar Tulisannya mengenai Benteng Fort Rotterdam adalah awal dari serangkaian tulisan lainnya yang akan diterbitkan secara berkala melalui Reportase ini Nantikan tulisan selanjutnya, kunjungi halaman ini secara berkala untuk mengikuti perkembangan update terbaru dari Reportase Syiar FM Kunjungi juga halaman Syiar Spotlight yang khusus menyoroti issue terkini yang menimbulkan dampak besar pada perkembangan disekitarnya, dan Syiar Blog yang khusus menyoroti masalah Broadcasting (Penyiaran) sebagai salah satu teknologi yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan syiar (ilmu, agama, budaya, dan lain-lain) |
|